Polis Asuransi Jiwa
Bapak A (warga negara dan wajib pajak Indonesia) memiliki polis asuransi jiwa dari perusahaan asuransi di Singapura. Bila Bapak A meninggal dunia, apakah penerima manfaat dikenakan pajak atas klaim asuransi Singapura tersebut?
Pada dasarnya klaim asuransi jiwa di Indonesia dan Singapura menganut peraturan perpajakan yang mirip yaitu klaim asuransi jiwa bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh). Perusahaan asuransi tidak akan memotong pajak penghasilan (PPh) dan penerima manfaat wajib mencantumkan klaim asuransi jiwa tersebut secara self-assessment sebagai penghasilan di SPT mereka.
Otoritas pajak di Indonesia bisa mengenakan pajak penghasilan (PPh) Indonesia atas penghasilan dari klaim asuransi dari Singapura tersebut. Besarnya sesuai aturan perpajakan yang berlaku, yaitu progresif dengan maksimum 30%. Demikian juga bila warga Negara Singapura memiliki polis asuransi jiwa dari Indonesia.
Melalui AEol, otoritas pajak setiap negara akan memperoleh informasi atas klaim asuransi ini sehingga memungkinkan mereka untuk menelusuri.
Trust
Bapak George (51, warga negara dan wajib pajak Indonesia) membuka trust di Singapura. Beneficiary adalah istri, anak dan orang tuanya. Beliau telah mengambil peluang tax amnesty. Bapak George meninggal di tahun 2017. Apakah beneficiary merupakan objek pajak?
Besar kemungkinan beneficiary merupakan objek pajak. Bila beneficiary adalah warga negara dan wajib pajak Indonesia, mereka akan menjadi objek pajak penghasilan (PPh) di Indonesia. Namun bila bukan wajib pajak Indonesia, mereka merupakan objek pajak di negara mereka tercatat sebagai wajib pajak.
“Warisan pada dasarnya bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh)
Keluarga dari Bapak A (meninggal dunia 3 bulan yang lalu) memiliki warisan berbentuk tanah dan bangunan senilai Rp 3 M dan polis asuransi jiwa dengan penerima manfaat istri dan anak-anak senilai Rp. 500 juta. Apakah ada kewajiban pajak terkait klaim warisan tanah dan bangunan dan dana hasil klaim asuransi?
Menurut penjelasan Bapak Yuki Diwintoro CFP CPAi BKP, seorang pengajar pajak di kelas persiapan ujian ditanggung oleh keluarga almarhum Bapak A atas harta warisan, yaitu:
- Pajak penghasilan (PPH) final dan tidak final
- Bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB)
- Pajak bumi dan bangunan
- Pajak pertambahan nilai
Dalam bab ini, kita akan mempelajari 2 kewajiban pajak pajak penghasilan (PPh) dan BPHTB.
Pajak Penghasilan (PPh)
Warisan pada dasarnya bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh), ini merujuk pada Pasal 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008 tentang penghasil yang bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh) bagi pihak yang menerima. Sedangkan Hiba bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh) apabila diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu sederajat.
Dalam kasus almarhum Bapak A, warisan bagi istri dan anak-anak Bapak A masuk ke dalam kategori bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh). Untuk tanah atau bangunan yang diterima tersebu ahli waris dapat meminta fasilitas Surat Keteranga Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) atas pengalih hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) Nomor SE-20/PJ/2015 tanggal 18 Maret 2015 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah mengeluarkan aturan terbaru khusus mengatur tentang SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak tanah dan/atau bangunan karena warisan, baik dalam bentuk warisan maupun hibahan.
Baik bentuk warisan maupun hibahan, wajib dicatatkan di dalam SPT mereka beserta bukti yang menyatakan bahwa penghasilan mereka tersebut berasal dari hibah dan waris.
Bagaimana dengan BPHTB?
BPHTB adalah bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, Tanah dan bangunan merupakan aset utama orang Indonesia. Hampir semua orang pernah melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan.
Mengapa BPHTB dinamai bea, bukan pajak?
Alasan pertama, pembayarannya terjadi lebih dahulu daripada saat terhutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi atau sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Hal ini terjadi seperti bea. Siapapun pihak yang membeli meterai tempel, berarti ia sudah membayar bea meterai, walaupun belum terjadi saat terutang pajak.
Alasan kedua adalah frekuensi pembayaran bea terhutang dapat dilakukan secara insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat oleh waktu. Misalnya, membeli atau membayar meterai dapat dilakukan kapan saja. Demikian pula dengan membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
BPHTB dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunyai nilai lebih atas tambahan atau perolehan hak tersebut, di mana tidak semua orang mempunyai kemampuan lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.
Jadi dalam pandangan banyak pihak, BPHTB bukan merupakan pajak tapi bea. Besarnya tergantung di daerah mana tanah dan atau bangunan tersebut berada. Selain itu, dalam banyak situasi BPHTB bisa dikenakan atas satu objek lebih dari satu kali.
Pada saat transaksi, yang menjadi subjek pada BPHTB kepada pribadi ataupun badan adalah nilai perolehan objek pajak NJOP (nilai jual objek pajak) atas harga transaksi. Sedangkan untuk nilai tukar-menukar hibah atau warisan maka dikenai pajak NPOP.
Faktor lain yang menentukan besarnya nilai BPHTB adalah NPOPTKP (nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak) merupakan nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan BPHTB. Setiap daerah punya peraturan berbeda mengenai NPOPTKP.
Terkait keluarga almarhum Bapak A, bila pemilik baru tanah dan bangunan menjadi milik keluarga yaitu secara bersama atas nama istri dan anak-anak, sedangkan tanah dan bangunan tersebut akan dijual karena kepentingan mendesak, maka bisa terkena dua kali pembayaran BPHTB.
Pajak Penghasilan (PPh) atas klaim asuransi jiwa
Bagaimana dengan klaim manfaat meninggal asuransi jiwa? Merujuk pada pasal UU No. 36 tahun 2008, klaim manfaat meninggal asuransi jiwa bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh), sehingga atas klaim asuransi jiwa ini perusahaan asuransi jiwa akan membayar klaim asuransi penuh tanpa memotong pajak. Penerima manfaat wajib mencatatkannya secara self-assesment dalam SPT nya.
Catatan penting, permasalahan kewajiban pajak bisa terjadi bila pembayaran premi menggunakan dana yang belum dibayarkan pajak atasnya dan asuransi jiwa tersebut berasal dari luar negeri. Pastikan polis asuransi jiwa sudah dilaporkan dalam SPT.
Dalam kaitan dengan kasus Bapak A, istri dan anak-anak almarhum sebagai penerima manfaat bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh) asalkan memenuhi catatan penting diatas.
Polis asuransi jiwa telah digunakan sebagai salah satu solusi utama dalam legacy planning. Polis asuransi jiwa dipilih karena mampu memenuhi tiga tujuan legacy planning yaitu: kemudahan transfer, kekuatan likuiditas dan menciptakan surplus.
Kemudahan Transfer
Klaim asuransi dibayar tanpa melalui proses legal selayaknya pembagian harta waris sehingga memungkinkan klaim asuransi dibayar secara langsung dan segera kepada ahli waris yang telah ditentukan dalam polis asuransi. Ahli waris biasanya adalah anggota inti dari sebuah keluarga, misalnya istri/suami dan anak-anak atau bisa saja orang lain yang masuk dalam daftar insurable interest sebuah perusahaan asuransi.
Kekuatan Likuiditas
Selain langsung dan segera, klaim asuransi jiwa dibayarkan secara tunai dan bebas pajak karena klaim asuransi jiwa bukan merupakan objek pajak penghasilan (PPh). Dana dari klaim asuransi menjadi sumber likuiditas bagi keluarga yang bisa langsung digunakan untuk membayar biaya akhir seperti tagihan medis, menyelesaikan hutang dan janji almarhum, membayar biaya pengurusan simpanan di bank, tanah dan bangunan serta unt membayar pajak dan BPHTB.
Ingin mengetahui Program Asuransi Jiwa Manulife yang cocok untuk warisan Anda?
Silahkan isi form berikut
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!